Guru Profesional
Memasuki abad ke 21 kita menghadapi perubahan-perubahan besar dan amat fundamental dilingkungan global. Perubahan lingkungan strategis pada tataran global tersebut tercermin pada pembentukan forum-forum seperti GATT, WTO, dan APEC, NAFTA dan AFTA, IMG-GT, IMS-GT, BIMP-EAGA, dan SOSEKMALINDO yang merupakan usaha untuk menyongsong perdagangan bebas dimana pasti akan berlangsung tingkat persaingan yang amat ketat. Suatu perubahan regulasi yang semula monopoli (monopoly) menjadi persaingan bebas (free competition). Demikian pula, terjadi pada pasar yang pada awalnya berorientasi pada produk (product oriented) beralih pada orientasi pasar (market driven), serta dari proteksi (protection) berpindah menjadi pasar bebas (free market ).
Kemajuan ekonomi diberbagai negara, sangat terkait dengan kualitas Sumber Daya Manusia. Contohnya Singapura dan Jepang. Walaupun sumber daya alam yang dimilikinya terbatas, tetapi karena kualitas sumber daya manusianya unggul, kedua negara tersebut menjadi pemimpin ekonomi di kawasan Asia. Untuk itu perlu mengantisipasi keadaan ini dengan memperkuat kemampuan bersaing diberbagai bidang dengan pengembangan Sumber Daya Manusia. Sayangnya SDM kita saat ini memprihatinkan, menurut UNDP. Indonesia menempati peringkat 109 dari 174, peringkat daya saing ke –46 yang paling bawah di kawasan Asia Tenggara, Singapura ke-2, Malaysia ke-27. Phillipina ke –32, dan Tailand ke –34, dan termasuk negara yang paling korup didunia.
Dalam upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup menonjol. Dari pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa dalam menuju perubahan struktural, dengan meningkatnya pembangunan ekonomi telah terjadi proporsi tenaga kerja di bawah pendidikan dasar yang semakin mengecil, sedangkan proporsi tengan kerja berpendidikan menengah dan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan negara lain yang mengalami tinggal landas, proporsi yang berpendidikan dasar dan menengah di Korea pada pertengahan tahun 70-an cukup besar yaitu 19 persen tidak berpendidikan, 43 persen berpendidikan dasar, 31 persen berpendidikan menengah dan 7 persen berpendidikan tinggi (Macharany, 1990). Selanjutnya, Yudo Swasono dan Boediono (Macharany, 1990) mengungkapkan bahwa struktur tenaga kerja Indonesia pada tahun 1985 adalah 53 persen tidak berpendidikan, 34 persen berpendidikan dasar, 11 persen berpendidikan menengah dan 2 persen berpendidikan tinggi. Bila kita ingin mencapai tinggal landas seperti Korea, diperkirakan struktur tenaga kerja menurut pendidikan dalam tiga skenario pertumbuhan GDP per kapita, yaitu rendah 6 persen, sedang 7 persen, dan tinggi 8 persen pada tahun 2019.
Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat (Depdiknas, 2000).
a. Menjadi Guru yang Profesional
Apa yang diharapkan dari seorang guru untuk menghadapi tantangan era global, era otonomi daerah dalam merealisasikan program pemerintah dalam bidang pendidikan?. jawabannya hanya sederhana : ” Menjadi guru yang baik, atau tidak sama sekali”. Tidak ada diantara kita yang dipaksa menjadi guru yang ada hanya terpaksa menjadi guru dan secara sukarela menjadi guru. Apapun itu yang penting untuk menjadi guru maka tugas mulia ini mesti dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian. Guru yang baik diharapkan untuk menjadikan dirinya secara profesional, dan untuk mendapatkan guru yang profesional merupakan suatu keharusan.
Moh Uzer Usman (2000) mengemukakan tiga tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. (1) mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, (2) mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, (3) melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. DG Amstrong mengemukakan ada lima tugas dan tanggung jawab pengajar, yakni tanggung jawab dalam (1) pengajaran, (2) bimbingan belajar, (3) pengembangan kurikulum, (4) pengembangan profesinya, dan (5) pembinaan kerjasama dengan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Glasser dalam Nana Sudjana (1988) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga pengajar, yakni (a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia, (b) menguasai bidang ilmu yang dibinanya, (c) memiliki sikap yang tepat tentang dirinya sendiri dan teman sejawat serta bidang ilmunya , (d) keterampilan mengajar.
b. Upaya Meningkatkan Citra Guru
Untuk meningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di dalamnya.
Berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut citra/mutu guru dan kesejahteraan (Indra Djati Sidi, 2000)
Citra/mutu guru saat ini sering didengung-dengungkan dan dibicarakan orang baik yang pro dan kontra dan semakin lama citra guru semakin terpuruk. Masyarakat sering mengeluh dan menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua mengikut sertakan putra/putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral para pelajar yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Rendahnya mutu guru menurut J. Sudarminta (2000) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut : (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Sementara itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh faktor berikut : (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.
Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang berperan adalah meningkatkan profesional guru yang bercirikan : menguasai tugas, peran dan kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan menganut paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi dirinya sendiri melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School (NCS) sebagai berikut : (i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa; (iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000). Dengan demikian proses penuingkatan mutu guru ditekankan pada proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri.
Sejalan dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.
Guru yang profesional tidak hanya tahu akan tugas, peranan dan kompetensinya namun juga dapat melaksanakan apa-apa yang menjadi tugas dan peranannya, dan selalu meningkatkan kompetensinya agar tercapai kondisi proses belajar mengajar yang efektif dan tercapai tujuan belajar secara optimal. Guru yang profesional selalu belajar dan belajar untuk mengembangkan profesinya.
Sebagai guru yang baik dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah maka seharusnya tidak usah berkeluh kesah, dan menurunkan semangat kerja. Sebagai orang-orang yang berpendidikan seharusnya guru dapat mengatasi persoalan ekonomi baik secara individual maupun secara kooperatif. Guru membekali dirinya dengan kemampuan untuk berwirausaha. Kita syah-syah saja mencari penghasilan tambahan, sebagaimana dokter yang penghasilannya lebih besar dari guru, masih ngobyek untuk menambahi penghasilannya, asal tidak meninggalkan kewajiban utamanya sebagai pendidik. Guru tidak boleh mengorbankan pelajar karena sedang ada bisnis. Kewajiban utama tetap dikedepankan, baru sisa waktu (waktu luang) untuk kerja sambilan. Sebab jika guru terlalu berorientasi pada upaya penumpukan materi (kekayaan) dikhawatirkan akan melalaikan fungsi guru sebagai pendidik.
Kekhawatiran akan fungsi guru bukan lagi pendidik telah terbukti, akhir-akhir ini jumlah tenaga guru semakin sedikit, sebaliknya jumlah pengajar terus membengkak. Menurut Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan pelantikan rektor Universitas Surabaya (Unesa) di Surabaya mengatakan :”Indonesia saat ini minus tenaga guru, yang banyak adalah tenaga pengajar. Dia bekerja per jam, dan setiap jam minta bayaran”. Guru, menurut Malik Fadjar, lebih dari sekedar pengajar. Guru merupakan pusat teladan dan panutan. Guru punya pengaruh terhadap siswanya (Republika, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Conny R. Semiawan, Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Balai Pustaka, 1988
Moch. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2000
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, Profesionalisme guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (http://www.uns.ac.id/)
Dalam upaya peningkatan SDM, peranan pendidikan cukup menonjol. Dari pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa dalam menuju perubahan struktural, dengan meningkatnya pembangunan ekonomi telah terjadi proporsi tenaga kerja di bawah pendidikan dasar yang semakin mengecil, sedangkan proporsi tengan kerja berpendidikan menengah dan tinggi semakin meningkat. Berbeda dengan negara lain yang mengalami tinggal landas, proporsi yang berpendidikan dasar dan menengah di Korea pada pertengahan tahun 70-an cukup besar yaitu 19 persen tidak berpendidikan, 43 persen berpendidikan dasar, 31 persen berpendidikan menengah dan 7 persen berpendidikan tinggi (Macharany, 1990). Selanjutnya, Yudo Swasono dan Boediono (Macharany, 1990) mengungkapkan bahwa struktur tenaga kerja Indonesia pada tahun 1985 adalah 53 persen tidak berpendidikan, 34 persen berpendidikan dasar, 11 persen berpendidikan menengah dan 2 persen berpendidikan tinggi. Bila kita ingin mencapai tinggal landas seperti Korea, diperkirakan struktur tenaga kerja menurut pendidikan dalam tiga skenario pertumbuhan GDP per kapita, yaitu rendah 6 persen, sedang 7 persen, dan tinggi 8 persen pada tahun 2019.
Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah dalam meningkatkan mutu pendidikan untuk mengembangkan SDM adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (school based management) dimana sekolah diberikan kewenangan untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang berbasiskan pada partisipasi komunitas (community based education) di mana terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan masyarakat, sekolah sebagai community learning center; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. Selain itu pada pemerintah telah mengumumkan suatu gerakan nasional untuk peningkatan mutu pendidikan, sekaligus menghantar perluasan pendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat. Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat (Depdiknas, 2000).
a. Menjadi Guru yang Profesional
Apa yang diharapkan dari seorang guru untuk menghadapi tantangan era global, era otonomi daerah dalam merealisasikan program pemerintah dalam bidang pendidikan?. jawabannya hanya sederhana : ” Menjadi guru yang baik, atau tidak sama sekali”. Tidak ada diantara kita yang dipaksa menjadi guru yang ada hanya terpaksa menjadi guru dan secara sukarela menjadi guru. Apapun itu yang penting untuk menjadi guru maka tugas mulia ini mesti dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian. Guru yang baik diharapkan untuk menjadikan dirinya secara profesional, dan untuk mendapatkan guru yang profesional merupakan suatu keharusan.
Moh Uzer Usman (2000) mengemukakan tiga tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. (1) mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup, (2) mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, (3) melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. DG Amstrong mengemukakan ada lima tugas dan tanggung jawab pengajar, yakni tanggung jawab dalam (1) pengajaran, (2) bimbingan belajar, (3) pengembangan kurikulum, (4) pengembangan profesinya, dan (5) pembinaan kerjasama dengan masyarakat.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Glasser dalam Nana Sudjana (1988) mengemukakan empat jenis kompetensi tenaga pengajar, yakni (a) mempunyai pengetahuan belajar dan tingkah laku manusia, (b) menguasai bidang ilmu yang dibinanya, (c) memiliki sikap yang tepat tentang dirinya sendiri dan teman sejawat serta bidang ilmunya , (d) keterampilan mengajar.
b. Upaya Meningkatkan Citra Guru
Untuk meningkatkan mutu pendidikan secara formal aspek guru mempunyai peranan penting dalam mewujudkannya, disamping aspek lainnya seperti sarana/prasarana, kurikulum, siswa, manajemen, dan pengadaan buku. Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan, sebab inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar mengajar yang memerlukan peran dari guru di dalamnya.
Berdasarkan hasil studi di negara-negara berkembang, guru memberikan sumbangan dalam prestasi belajar siswa (36%), selanjutnya manajemen (23%), waktu belajar (22%), dan sarana fisik (19%). Aspek yang berkaitan dengan guru adalah menyangkut citra/mutu guru dan kesejahteraan (Indra Djati Sidi, 2000)
Citra/mutu guru saat ini sering didengung-dengungkan dan dibicarakan orang baik yang pro dan kontra dan semakin lama citra guru semakin terpuruk. Masyarakat sering mengeluh dan menuding guru tidak mampu mengajar manakala putra-putrinya memperoleh nilai rendah, rangkingnya merosot, atau NEM-nya anjlok. Akhirnya sebagian orang tua mengikut sertakan putra/putrinya untuk kursus, privat atau bimbingan belajar. Pihak dunia kerja ikut memprotes guru karena kualitas lulusan yang diterimanya tidak sesuai keinginan dunia kerja. Belum lagi mengenai kenakalan dan dekadensi moral para pelajar yang belakangan semakin marak saja, hal ini sering dipersepsikan bahwa guru gagal dalam mendidik anak bangsa.
Rendahnya mutu guru menurut J. Sudarminta (2000) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut : (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.
Sementara itu Nana Sudjana (2000) menjelaskan rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh faktor berikut : (1) adanya pandangan sebagian masyarakat, bahwa siapapun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan; (2) kekurangan guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai keahlian untuk menjadi guru; (3) banyak guru yang belum menghargai profesinya, apalagi berusaha mengembangkan profesinya itu. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasan dan kepentingan pribadinya, sehingga wibawa guru semakin merosot. Sedang Muhibbin Syah (2000) menyorot rendahnya tingkat kompetensi profesionalisme guru. Penguasaan guru terhadap materi dan metode pengajaran masih berada di bawah standar.
Oleh karena itu usaha untuk meningkatkan mutu/citra guru salah satu komponen yang berperan adalah meningkatkan profesional guru yang bercirikan : menguasai tugas, peran dan kompetensinya, mempunyai komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan menganut paradigma belajar bukan saja di kelas tetapi juga bagi dirinya sendiri melakukan pendidikan berkelanjutan sepanjang masa.
Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat telah dikembangakan konsep Next Century School (NCS) sebagai berikut : (i) guru sebagai pelatih yang mendorong siswanya untuk mau meningkatkan prestasinya, guru tidak selalu lebih pintar dari siswa. Guru bersama-sama siswa berupaya keras untuk meningkatkan prestasi siswa. Mereka merupakan team work yang padu, (ii) Sebagai konselor, sebagai sahabat siswa yang menjadi tempat mendiskusikan berbagai masalah kehidupan, bersama-sama mencari solusi. Guru dapat menjadi teladan atau idola siswa; (iii) guru menjadi manajer belajar, artinya bersama-sama dengan siswa mencari pengaturan yang optimal untuk mengelola waktu belajar. Dengan singkat dapat disampaikan bahwa hubungan antara guru dengan siswa tidak dibatasi oleh ruang kelas, di pasar, dilapangan, di perpustakaan, di tempat rekreasi dan lain-lain. Hal inilah yang akan menciptakan suasana yang kondusif yang didasarkan hubungan harmonis antara guru dengan siswa (Indra Djati Sidi, 2000). Dengan demikian proses penuingkatan mutu guru ditekankan pada proses berkelanjutan melalui pemberdayaan diri sendiri.
Sejalan dengan kehidupan yang serba materialisme dan konsumerisme yang membudaya dikalangan kita maka berdampak pula terhadap citra guru. Guru yang penghasilannya pas-pasan membuat masyarakat kurang menghargai profesinya. Guru terpaksa harus mencari penghasilan tambahan seperti mengojek, menghonor di sekolah lain, memberi les/privat dan lain-lain yang menyebabkan guru kurang persiapan dalam mengajar dan mengajar apa adanya. Turunnya semangat guru tidak terlepas dari kesejahteraan saat ini. Misalnya kasus manipulasi NEM oleh oknum guru di beberapa daerah, hanyalah untuk mendapatkan imbalan yang tidak seberapa besarnya.
Guru yang profesional tidak hanya tahu akan tugas, peranan dan kompetensinya namun juga dapat melaksanakan apa-apa yang menjadi tugas dan peranannya, dan selalu meningkatkan kompetensinya agar tercapai kondisi proses belajar mengajar yang efektif dan tercapai tujuan belajar secara optimal. Guru yang profesional selalu belajar dan belajar untuk mengembangkan profesinya.
Sebagai guru yang baik dengan tingkat kesejahteraan yang masih rendah maka seharusnya tidak usah berkeluh kesah, dan menurunkan semangat kerja. Sebagai orang-orang yang berpendidikan seharusnya guru dapat mengatasi persoalan ekonomi baik secara individual maupun secara kooperatif. Guru membekali dirinya dengan kemampuan untuk berwirausaha. Kita syah-syah saja mencari penghasilan tambahan, sebagaimana dokter yang penghasilannya lebih besar dari guru, masih ngobyek untuk menambahi penghasilannya, asal tidak meninggalkan kewajiban utamanya sebagai pendidik. Guru tidak boleh mengorbankan pelajar karena sedang ada bisnis. Kewajiban utama tetap dikedepankan, baru sisa waktu (waktu luang) untuk kerja sambilan. Sebab jika guru terlalu berorientasi pada upaya penumpukan materi (kekayaan) dikhawatirkan akan melalaikan fungsi guru sebagai pendidik.
Kekhawatiran akan fungsi guru bukan lagi pendidik telah terbukti, akhir-akhir ini jumlah tenaga guru semakin sedikit, sebaliknya jumlah pengajar terus membengkak. Menurut Menteri Pendidikan Nasional dalam sambutan pelantikan rektor Universitas Surabaya (Unesa) di Surabaya mengatakan :”Indonesia saat ini minus tenaga guru, yang banyak adalah tenaga pengajar. Dia bekerja per jam, dan setiap jam minta bayaran”. Guru, menurut Malik Fadjar, lebih dari sekedar pengajar. Guru merupakan pusat teladan dan panutan. Guru punya pengaruh terhadap siswanya (Republika, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
Conny R. Semiawan, Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, Balai Pustaka, 1988
Moch. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2000
Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S, Profesionalisme guru dan Peningkatan Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah (http://www.uns.ac.id/)
Komentar
Posting Komentar